CV-GEN News

Memetik Inspirasi Dari Anak Tempe Di Berlin

Tempe, siapa sih yang tidak kenal?. Hampir semua orang Indonesia pasti mengenal makanan yang satu ini. Selain karena harganya terjangkau, juga kaya akan protein dan bisa menjadi alternatif pengganti daging.

Mengutip dari Wikipedia, Tempe atau Tempeh adalah makanan khas Indonesia yang terbuat dari fermentasi kedelai atau beberapa bahan lain yang menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer, atau Rh. arrhizus. Sediaan fermentasi ini secara umum dikenal sebagai “ragi tempe”.

Karena hal itu, makanan tersebut juga patut mendunia dan menjadi inspirasi banyak orang. Seperti yang Yustina Haryanti lakukan. Ia mulai memperkenalkannya di Berlin, Jerman.

“Karena memang penggemar Tempe. Terus mencari Tempe yang sesuai dengan lidah kita orang Indonesia yang fresh itu tidak ada di Berlin. Juga kebetulan keluarga kita itu keluarga vegetarian. Jadi, kita mencari alternatif pengganti daging. Saya mulai belajar mencari di buku atau di YouTube, tapi tidak pernah menemukan yang pas. Akhirnya, saya belajar di pembuat Tempe Home Industri di tempat saya tinggal di Ungaran.” Kata Yustina.

Baca Juga : Gudeg: Makanan Tradisional Dalam Kaleng Siap Mendunia

Dari Tempe Jadi Cuan

Awalnya ia hanya iseng-iseng membuatnya sendiri, sampai akhirnya mendatangkan cuan. Produksi tempenya juga tak pernah berhenti setiap hari. Dari mulai promosi mulut ke mulut sampai dikenal komunitas. Tempe buatanya sangat eksis di acara festival jajanan, restoran, dan kafe-kafe vegan di Berlin, Jerman.

Tak hanya itu, setiap minggu kak Yustina juga sibuk membuat pesanan katering untuk beberapa kantor yang menyediakan menu vegan.

Kacang kedelai yang digunakannya berasal dari Eropa, tapi raginya masih tetap dari Indonesia. Karena menurutnya, ragi Indonesia jauh lebih kuat dan lebih mengikat kedelai.

Sehari ia bisa memproduksi sekitar 30 kilogram, terutama saat musim panas. Karena saat musim panas, biasanya restoran-restoran lebih ramai.

Kacang kedelai yang terpilih juga tidak boleh sembarangan. Harus kering dan tidak boleh lembab.

“Mencari kedelai di Berlin gampang-gampang susah. Awalnya ketika kita belum ketemu petani langsung, kita memang kesusahan karena harus mengandalkan import. Tapi, setelah kita ketemu petaninya langsung dan kita selalu seperti berlangganan gitu, kita nggak mengalami kesulitan lagi. “, lanjutnya lagi.

Memproduksi Tempe Sejak Tahun 2015

Ternyata, Yustina sudah memproduksinya sejak tahun 2015. Sampai akhirnya, banyak orang Jerman yang penasaran dan ingin mencoba mencobanya.

Di Berlin, memang makanan hasil fermentasi kedelai ini belum sepopuler tahu. Membuat tempe yang menjadi favorit orang Berlin itu tidak mudah dan penuh perjuangan. Yustina sudah berkali-kali gagal. Namun, itu tak mematahkan semangatnya untuk terus mengenalkannya kepada orang-orang di Jerman. Sampai ia menemukan bahan, resep, dan cara pembuatannya yang pas.

Saat pertama kali membuat, tempenya selalu busuk. Yustina terus belajar, membaca buku olahan fermentasi, sampai mengikuti kursus dari organisasi gerakan tempe mendunia di Belanda.

Setelah yakin dengan makanan buatannya itu, Yustina mulai berbagi dengan komunitas vegan di Berlin. Dari hal itulah sudah mulai ada timbal balik.

“Kendala membuatnya yaitu pengepasan suhu sesuai di Indonesia. Karena suhunya harus sesuai, tidak boleh kurang dari 28 derajat, juga tidak boleh terlalu panas.” tuturnya.

Harga Yang Lumayan Tinggi

Untuk harga di Berlin, memang beberapa kali lipat lebih mahal daripada di Indonesia. Di Indonesia kita bisa membelinya dengan harga yang sangat murah, namun di Berlin atau mungkin hampir di semua pasaran Eropa, harganya memang lebih mahal. Untuk yang mentah biasa dibandrol dengan harga 10 euro/kg (Rp. 201. 813).

Kreasi Tanpa Batas

Ternyata, Yustina bukan hanya menjual tempe saja, namun juga berkreasi dengan makanan itu. Yustina senang sekali bereksperimen dari bahan lain, seperti tempe Chanda Dal. Cara pembuatannya seperti biasa, bedanya prosesnya lebih cepat dan tak perlu diamkan semalaman.

Yustina membuat menu lain pengganti daging, seperti tempe rendang dan bakpao isi tempe. Nah, menu tempe rendang ini adalah menu pertama yang Yustina buat.

“Buat aku yang nggak begitu suka tempe karena suka rada gimana gitu kalau nyium baunya. Tapi, ini benar-benar nggak ada baunya sama sekali. Rasanya nggak kaya tempe gitu, ya. Benar-benar menurut aku udah pasti kaya daging gitu sih. Apalagi saus rendangnya emang mantap banget. Jadi, cocok banget buat makan ketika kamu lagi mau cari alternatif untuk daging.”, kata Mega Liyanti (WNI di Jerman).

Harga aneka tempe dibandrol dengan harga 7 euro (Rp. 113.000).

Itu adalah kisah inspiratif orang Indonesia yang menjadi pengusaha tempe di Jerman. Semoga bisa menjadi inspirasi anda yang ingin mencari keuntungan di negeri orang, tapi dengan mengenalkan cita rasa negeri sendiri.